Senin, 30 Mei 2011



Pangeran Bintang, Majalah Tempo

Home

Hikayat Pangeran dari Galaksi Dapur

BELASAN manusia berkostum aneh berhamburan masuk ke sela-sela kursi penonton. Ada yang memanggul meja, kursi, dan jemuran baju. Ada juga yang bertopeng ember, berhelm bak sampah, bermahkota sendok, serta menempelkan wajan dan panci di sekujur tubuhnya. Ulah mereka pun jail. Mereka berlarian dan merangkak ke sana-kemari sambil tangan mereka berusaha menggapai penonton yang baru saja masuk Gedung Societet, Taman Budaya Yogyakarta, Jalan Sriwedari Nomor 1, Yogyakarta.

Tentu saja penonton kaget. Apalagi ruangan itu agak gelap. Tapi itu tak lama. Sesaat kemudian raut wajah mereka berubah riang. Ada yang tersenyum geli, tapi tak sedikit yang terpingkal. Beberapa di antara mereka bahkan sibuk merekam dengan kamera.

Itulah kejutan yang menyambut penonton pementasan drama musikal Pangeran Bintang dan Putri Embun, yang berlangsung dua pekan lalu. Pertunjukan ini menjadi nomor perdana dari Jogja Broadway, pentas ala Broadway yang digagas Garasi Enterprise, divisi baru Teater Garasi Yogyakarta yang digawangi Yudi Ahmad Tajudin.

Drama karya Andy Sri Wahyudi itu dibawakan oleh Bengkel Mime Theatre, kelompok pantomim yang terkenal karena gayanya yang berbeda dengan gaya pantomimer pada umumnya, seperti Jemek Supardi. Pupur putih, sarung tangan, kaus bergaris hitam-putih, atau topi ala Charlie Chaplin, misalnya, telah mereka tanggalkan sejak mula. Adapun naskahnya, yang semula berjudul Putri Embun dan Pangeran Bintang, Epos Mini Perkakas Rumah Tangga, memenangi kompetisi bergengsi Hibah Seni Yayasan Kelola 2010 dan dimainkan di gedung yang sama pada Mei tahun lalu.

Pertunjukan ini memang memanfaatkan semua ruang sebagai panggung, termasuk kursi penonton dan lobi gedung. Itu sebabnya, para pemain bisa berkeliaran seenaknya di semua ruang yang ada. Interaksi dengan penonton memang bagian dari konsep pertunjukan sekaligus menggiring penonton memasuki dunia imajinasi di atas panggung.

Plot drama ini sederhana saja dan sudah kita kenal. Pangeran Bintang dan Putri Embun hidup bahagia hingga satu malapetaka terjadi saat Putri diculik Pemuda Wajan. Pangeran pun berusaha menyelamatkannya setelah mendapatkan obat penyembuh luka dari Putri Bulan. Yang berbeda, mereka hidup di dunia imajinasi: galaksi perabotan rumah tangga. Pemuda Wajan, Mat Panci, Detektif Jemuran, Nenek Kursi, dan Kakek Meja adalah bagian dari sejumlah tokoh yang hidup di sana. "Total pemainnya tak kurang dari 13 orang," kata Andy Sri Wahyudi, sang sutradara.

Galaksi itu dibangun dengan mengangkut alat-alat rumah tangga ke panggung. Jubah Pangeran yang gagah perkasa ternyata berasal dari taplak meja. Gaun indah Putri terbuat dari serbet makan. Pemuda Wajan, sesuai dengan namanya, bajunya terbuat dari tempelan wajan-wajan. Adapun Adik Bunga, tokoh gemulai yang membela Pangeran, mengenakan gaun dari keset dengan hiasan tumpukan piring di pundaknya dan kepala bermahkota sendok. Juga ada Anjing Besi jail yang moncongnya dari ember dan kuping dari centong nasi.
Perlengkapan panggung pun dihiasi perabotan sejenis. Singgasana Pangeran berbentuk teko terbelah yang terletak di puncak menara di luar panggung di dekat penonton. Penjara tempat Pemuda Wajan mengurung Putri berbentuk mangkuk raksasa yang jerujinya dari garpu. Letak penjara ini juga di luar panggung, yang terhubung dengan panggung utama lewat sebuah jembatan sendok.

Dunia khayalan ini diperkuat oleh latar langit malam yang bertaburan bintang. Sedikit di depannya ada sebuah wajan raksasa miring yang mirip bulan sabit. Di tengah alat penggorengan itu ada sebuah lubang tempat para pemain bisa keluar-masuk panggung. Didukung tata cahaya yang apik, dunia imajinasi itu kian hidup.

Drama ini memang diilhami roman-roman percintaan populer, seperti Romeo-Juliet, Sam Pek-Eng Tay, dan Rama-Sinta. Masuknya unsur perabotan rumah tangga, kata Andy, karena dipengaruhi pengalaman masa kecilnya. Bagi dia, alat itu adalah saksi bisu tiap keluarga. Apa pun dan kapan pun peristiwa penting terjadi dalam satu keluarga, alat rumah tangga selalu menemani.

Drama ini sebenarnya merupakan bentuk eksplorasi teatrikal terhadap benda-benda. Dalam paparan Afrizal Malna mengenai pertunjukan ini, fungsi benda dilepas dan dialihkan ke tubuh pemain, yang bergerak dan berekspresi secara tertentu sesuai dengan benda yang dikenakannya. Perabotan itu tidak hanya menjadi kostum untuk aktor, tapi juga menjadi bangunan yang menggantikan tubuh aktor.

Tapi ini Jogja Broadway, Bung! Pentas teater itu dibongkar menjadi pertunjukan yang lebih ringan dan jenaka. Produser kreatif drama musikal ini, Yudi Ahmad Tajudin, menegaskan bahwa Jogja Broadway diluncurkan dengan sasaran wisatawan dan anak sekolah. Jadi targetnya cukup jelas, yakni masyarakat umum yang mendambakan seni pertunjukan modern yang menyenangkan, bukan teater eksperimental. "Bukan yang mengganggu, tapi yang menghibur," katanya.

Untuk itu, menurut Yudi, konsep musik, struktur pementasan, dan tata panggung harus dibuat berbeda dari biasanya, karena harus memadukan keindahan drama, tari, musik, dan tata rupa yang memanjakan mata serta telinga penonton. Sementara pada pementasan aslinya minim unsur musik, di sini unsur itu lebih banyak. Setidaknya ada tiga lagu yang dinyanyikan langsung oleh para pemain dan dua lagu rekaman yang diputar. "Hampir 40 persen kini diisi unsur musikal," katanya.

Yudi juga membuang bagian cerita yang dianggap membosankan dan bertele-tele bagi penonton, sehingga lama pertunjukan yang semula hampir dua jam itu menjadi hanya 1 jam 15 menit. Strukturnya pun diubah. Di tiap adegan, melalui adegan yang dikemas jenaka dan spontan, Yudi mencoba lebih melibatkan penonton, seperti unjuk kebolehan para pemain di lobi sebelum pentas dimulai dan spontanitas pemain yang muncul dari kursi penonton. Cara itu ternyata efektif menjaga suasana hati penonton.

Perubahan juga dilakukan dalam hal latar panggung. Dalam Jogja Broadway, panggung ditata semaksimal mungkin dengan suasana meriah, tidak kaku, dan gelap seperti biasa. Caranya, "Jumlah lampu diperbanyak," kata Yudi.

Pementasan ini hendak menawarkan hidangan baru bagi para wisatawan yang berkunjung ke Kota Gudeg dengan segala penyederhanaan dan penekanannya. Yang diharapkan tentu saja bagaimana agar penyederhanaan itu tak menurunkan kualitasnya sebagai sebuah pertunjukan teater.

Kurniawan, Anang Zakaria (Yogyakarta)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar